Monday, December 24, 2018

HIKMAH DAN HUKUM MENIKAH.

Tulisan Harian Santri - Diantara hikmah di syariatkannya pernikahan adalah demi menjaga kehormatan, sebagai sarana berkembang biak, dan penjagaan terhadap keberadaan dan eksistensial manusia, membentuk keluarga yang dengannya akan mendatangkan kebahagian dan ketenangan, sebagai wadah dari sifat alami manusia yang yang membutuhkan pasangan, dan hikmah – hikmah lainnya. Yang jelas, adanya pernikahan merupakan sesuatu yang tidak bias di nafikan dan di pungkiri keberadaannya. Dan manusia yang punya akal sehat tentu akan menerimanya dan mengerti betapa pentingnya pernikahan bagi kehidupan manusia.

HUKUM MENIKAH.

          Adapun hokum menikah bisa berbeda tergantung situasi dan kondisi dari individu yang bersangkutan. Para ulama membagi hukum menikah menjadi beberapa macam. :

1.      Wajib.
               Menikah menjadi wajib bagi pelakunya, jika ia yakin tidak mampu menjaga kehormatannya ( bahkan dengan cara berpuasa ), serta khawatir akan terjerumus kepada perbuatan yang di haramkan jika ia tidak menikah. Dan ia juga mampu melakukannya, mampu menfkahi istrinya lahir batin, mampu membayar mahar,  baik memberikan hak – hak istri, dan lain sebagainnya. Maka bagi orang yang seperti ini, hokum menikah menjadi wajib demi terjaganya ia dari perbuatan yang di haramkan.

2.      Haram.
                Menikah menjadi haram bagi orang yang hendak melakukannya, jika ia yakin dirinya akan mendzalimi pasangannya atau bahkan membahayakannya. Seperti seorang laki – laki yang memiliki penyakit kelamin, atau laki – laki yang yakin tidak akan mampu menunaikan kewajibannya sebagai suami setelah menikah, dan sebagainya. Termasuk yang diharamkan juga adalah seorang suami yang yakintidak akan mampu berbuat adil jika ia menikah lagi ( poligami ).

                Bagaimana jika terjadi pertentangan antara kewajiban menikah dan keharaman melaksanakannya?. Seperti seseorang yang yakin akan terjerumus pada zina, namun di saat bersamaan ia juga yakin bahwa ia akan berbuat dzalim kepada pasangannya?. Para Ulama menjelsakan bahwa dalam hal ini ia haram untuk menikah. Karena ketika berkumpul yang halal dengan yang haram, maka yang haramlah yang harus di menangkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’alaa :  

“ Dan orang – orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjga kesucian dirinya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia Nya… “
( QS. An – Nur [24] : 33 )

3.      Makruh.

              Makruh bagi seseorang untuk menikah ketika dirinya khawatir terjerumus kepada perbuatan dosa, namun ia masih mampu menahannya. Dan ia khawatir tidak mampu menunaikan hal – hal yang menjadi hak bagi pasangannya, seperti nafkah, pergaulan yang baik,, dan sebagainya.

4.      Sunnah.

              Menurut jumhur Ulama, dianjurkan menikah bagi seseorang ketika ia tidak punya kekhawatiran akan terjerumus pada perbuatan haram ( Zina dan lain sebagainya ), serta masih mampu menjaga diriya, dan ia mampu memenuhi kriteria menikah. Sedangkan menurut madzhab Syafi’I, orang yang  berada dalam kondisi ini hukumnya mubah atau boleh melakukan pernikahan, dan bukan Sunnah.

             Para Ulama menyatakan bahwa lebih utama bagi orang mampu untuk menikah. Kecuali orang – orang yang di sibukkan dengan amal – amal ibadah atau belajar ilmu – ilmu Syar’I. Karena dengan menikah, sesorang akan lebih terjaga kehormatannya, dan menjauhkannya dari perbuatan keji.

No comments:

Post a Comment

Penerapan Tauhid Dalam Kehidupan.

   Tulisan Harian Santri - Pengertian Tauhid Tauhid (Arab : توحيد ) dilihat dari segi Etimologis yaitu berarti ”Keesaan Allah”, mentauhi...