HUKUM
MENIKAH.
Adapun hokum menikah bisa berbeda
tergantung situasi dan kondisi dari individu yang bersangkutan. Para ulama
membagi hukum menikah menjadi beberapa macam. :
1. Wajib.
Menikah menjadi wajib bagi pelakunya, jika ia yakin tidak mampu menjaga
kehormatannya ( bahkan dengan cara berpuasa ), serta khawatir akan terjerumus
kepada perbuatan yang di haramkan jika ia tidak menikah. Dan ia juga mampu
melakukannya, mampu menfkahi istrinya lahir batin, mampu membayar mahar, baik memberikan hak – hak istri, dan lain
sebagainnya. Maka bagi orang yang seperti ini, hokum menikah menjadi wajib demi
terjaganya ia dari perbuatan yang di haramkan.
2. Haram.
Menikah
menjadi haram bagi orang yang hendak melakukannya, jika ia yakin dirinya akan
mendzalimi pasangannya atau bahkan membahayakannya. Seperti seorang laki – laki
yang memiliki penyakit kelamin, atau laki – laki yang yakin tidak akan mampu
menunaikan kewajibannya sebagai suami setelah menikah, dan sebagainya. Termasuk
yang diharamkan juga adalah seorang suami yang yakintidak akan mampu berbuat
adil jika ia menikah lagi ( poligami ).
Bagaimana
jika terjadi pertentangan antara kewajiban menikah dan keharaman
melaksanakannya?. Seperti seseorang yang yakin akan terjerumus pada zina, namun
di saat bersamaan ia juga yakin bahwa ia akan berbuat dzalim kepada
pasangannya?. Para Ulama menjelsakan bahwa dalam hal ini ia haram untuk
menikah. Karena ketika berkumpul yang halal dengan yang haram, maka yang
haramlah yang harus di menangkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’alaa
:
“
Dan orang – orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjga kesucian dirinya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia Nya… “
( QS. An – Nur [24] : 33 )
3. Makruh.
Makruh
bagi seseorang untuk menikah ketika dirinya khawatir terjerumus kepada
perbuatan dosa, namun ia masih mampu menahannya. Dan ia khawatir tidak mampu
menunaikan hal – hal yang menjadi hak bagi pasangannya, seperti nafkah,
pergaulan yang baik,, dan sebagainya.
4. Sunnah.
Menurut
jumhur Ulama, dianjurkan menikah bagi seseorang ketika ia tidak punya
kekhawatiran akan terjerumus pada perbuatan haram ( Zina dan lain sebagainya ),
serta masih mampu menjaga diriya, dan ia mampu memenuhi kriteria menikah.
Sedangkan menurut madzhab Syafi’I, orang yang
berada dalam kondisi ini hukumnya mubah atau boleh melakukan pernikahan,
dan bukan Sunnah.
Para
Ulama menyatakan bahwa lebih utama bagi orang mampu untuk menikah. Kecuali
orang – orang yang di sibukkan dengan amal – amal ibadah atau belajar ilmu –
ilmu Syar’I. Karena dengan menikah, sesorang akan lebih terjaga kehormatannya,
dan menjauhkannya dari perbuatan keji.
No comments:
Post a Comment